Selasa, 07 September 2010

WANITA BATAK DIMATA ADAT DAN HUKUM

Tulisan ini sebagai refleksi terhadap perlakuan diskriminatif terhadap wanita dalam adat batak yang berlangsung dari nenek moyang kita, dan sampai sekarang masih terasa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat batak. Saya dalam tulisan ini sengaja mengutip beberapa yurisprudensi (putusan pengadilan) sebagai alat (tool) untuk memperkuat tuduhan penulis tersebut, yang kita akui sebagai hukum positif yang mengadopsi hukum tidak tertulis (the living law) yang berkembang di masyarakat Batak (Hukum Adat Batak).



Makna “anak” dalam ungkapan “anakhon hi do hamoraon di au”, lebih condong dialamatkan pada keberhasilan anak laki-laki semata, karena diharapkan sebagai “anak siboan marga” (penerus marga). Bahkan dulu, anak perempuan kurang didorong untuk melanjutkan studi misalnya ke perguruan tinggi. Pemikiran bahwa anak perempuan nantinya akan menjadi milik orang (keluarga suami), sehingga keberhasilannya kurang mengharumkan nama keluarga. Disamping itu, ada beberapa perlakuan diskriminatif terhadap wanita batak yang menjadi sorotan saya dalam tulisan ini.



Wanita Dalam Perkawinan Batak



Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor 673/Pdt/G/1997/PAJS, tanggal 3 Agustus 1997, bahwa Ny. Evelyn Rosmiati Tambunan memenangkan perkara perceraian yang diajukan suaminya dan memerintahkan suaminya menyerahkan kedua anak yang selama ini dikuasainya. Hal yang sama juga diputuskan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dengan Nomor Perkara 90/Pdt/1998/PTA.JK, tanggal 23 Maret 1999. Namun, dalam Putusan Mahkamah Agung No. 235 K/Ag/1999, perwalian anak yang sebelumnya jatuh ke tangan Ny. Evelyn Rosmiati Tambunan menjadi tidak ada kepastian. Dengan demikian pihak keluarga suami masih mengasuh kedua anaknya dan tidak pernah memberitahukan keberadaan anaknya dan bahkan mengancam Ny. Evelyn Rosmiati Tambunan.



Putusan ini sangat menarik, Ny. Evelyn Rosmiati Tambunan dimenangkan di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, walaupun dimentahkan lagi di Mahkamah Agung. Secara hukum Ny. Evelyn Rosmiati Tambunan berhak atas pengasuhan anaknya, namun kenyataan dalam adat batak adalah salah jika si istri menuntut hak mengasuh anak karena masih ada suami (mantan suami) sebagai ayah bahkan kalau dia meninggal masih ada kerabatnya yang mempunyai posisi melebihi kekuasaan si istri terhadap anak. Sangat tragis memang, anak yang dilahirkan dari rahimnya harus dipisahkan hanya karena kuatnya sistem kekerabatan marga, seakan-akan si istri hanya dijadikan “sapi perah” yang setelahnya dibuang. Adat Batak malah melegalisasikan tindakan suami yang mempertahankan anak dengan cara apa pun dan selalu memposisikan istri pada kondisi yang selalu salah.



Pertanyaan, mengapa demikian? Sistem kekerabatan adat Batak menganut sistem patrilineal, istri melebur kedalam sistem kekerabatan suami atau dengan kata lain dengan pembayaran sinamot, istri telah dibeli (kalo boleh saya katakan “dimiliki”). Dengan pembelian ini hubungan si istri dengan kerabatnya menjadi putus. Hal demikian juga berimbas pada anak, anak mutlak mengikuti marga ayahnya. Jika terjadi putusnya perkawinan (perceraian), maka anak akan mengikuti ayahnya dan jika ayahnya meninggal kerabat suami berhak menuntut hak pengasuhan anak.



Wanita Dalam Sistem Warisan Adat Batak



TD Pardede telah meninggal dunia pada tanggal 18 November 1991 di Medan. Dia memiliki anak 3 (tiga) orang laki-laki dan 6 (enam) orang wanita. Nilai kekayaannya ditaksir bernilai sekitar 1 triliun rupiah. Sehari setelah TD Pardede dimakamkan, ada surat wasiat yang dibacakan dihadapan pimpinan unit-unit usaha, pengurus yayasan dan komisaris T.D. Pardede Holding Company yang meliputi lima kelompok usaha. Dalam surat wasiat dinyatakan bahwa semua harta adalah milik keluarga dan pelaksanaan wasiat diserahkan kepada 3 (tiga) dari putri almarhum. Namun, salah satu anak dari TD Pardede tidak setuju dengan surat wasiat tersebut, dan oleh karenanya mereka sepakat untuk menyelesaikan kasus tersebut dihadapan pengadilan.



Pada tanggal 21 Maret 1992, telah berlangsung suatu musyawarah para pemimpin marga-marga di Balige. Musyawarah tersebut menyimpulkan bahwa yang menjadi ahli waris dan penerus keturunan dari almarhum TD Pardede adalah ketiga prianya, sedangkan para anak wanita (6 orang) telah menjadi bagian dari kelompok kekerabatan suami mereka, jadi mereka bukanlah ahli waris melainkan hanya menerima pemberian dari saudara laki-lakinya. Kemudian wakil-wakil dari masyarakat adat itu mendatangi Mahkamah Agung dan menyampaikan permohonan supaya sengketa warisan TD Pardede diselesaikan menurut hukum adat batak (T.O. Ichromi, Hukum Sebagai Alat Rekayasa untuk Mewujudkan Perubahan Sosial, dalam Bunga Rampai Pembangunan Hukum Indonesia, PT. Eresco, Bandung, 1995).



Dalam kasus ini, bukan nilai nominal warisan yang jadi sorotan, akan tetapi lebih pada bagaimana cara pembagian nominal tersebut. Secara kasat mata dan logika berpikir, seharusnya semua anak tentunya mendapatkan warisan dari orang tuanya secara prorata (sama). Namun, tidak demikian dengan pemimpin marga-marga yang memandang anak perempuan tidak dikenal dalam warisan batak dan yang lebih parah lagi bahwa mereka telah mengabaikan surat wasiat yang dibuat sewaktu Almarhum TD Pardede masih hidup, tanpa melihat niat baik Almarhum TD Pardede, yang berpikir lebih modern dan dengan rasa keadilan yang mendalam, beliau telah membagi harta kepada semua anaknya. Pemikiran beliau sangat sederhana, jika suatu saat dia mininggal semua anaknya dapat pembagian warisan secara merata dan dengan surat wasiatnya porsi pembagian berdasarkan adat batak seharusnya dikesampingkan, demi kepentingan pemberi wasiat. Namun kembali, salah satu anaknya menolak surat wasiat tersebut dengan menyerahkan kepada pengadilan untuk menyelesaikannya secara hukum. Pengadilan lebih mendengarkan pemimpin-pemimpin marga batak daripada rasa keadilan dan asas persamaan yang sesungguhnya.



Selain itu, kita juga dapat melihat putusan Perkara No. 506 K/Sip/1968, tanggal 22 Januari 1969, yang pada pokonya menyatakan anak perempuan di Tapanuli Utara tidak berhak mewarisi harta pusaka atas ayahnya. Sedangkan di Tapanuli Selatan dikenal istilah “Lembaga Holong Ate” yaitu pemberian sebagian dari harta warisan menurut rasa keadilan kepada anak perempuan apabila seorang meninggal dunia tanpa keturunan anak laki-laki (Perkara No. 528 K/Sip/1972, tanggal 17 Januari 1972).



Inilah bentuk “konspirasi” adat dari nenek moyang kita sampai sekarang, yang tertuang dalam aturan-aturan baku adat batak/patrilineal (lingkungan sosial otonom, meminjam istilah Sally Falk Moore) yang secara terus-menerus kita ikuti dan tanpa sadar kita terjerumus dalam suatu doktrinasi negatif. Posisi perempuan dikondisikan dibawah dominasi kaum pria, bahkan sama sekali tidak diberikan suatu porsi dalam adat sehari-hari, dan malah cenderung sebagai pelengkap pria saja.



Persamaan Wanita dengan Pria Dalam Hukum Nasional



Convention the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, tanggal 18 Desember 1979, yang diratifikasi oleh Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Dalam Pasal 2 disebutkan “Negara peserta konvensi mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijaksanaan menghapus diskriminasi terhadap wanita, dan untuk tujuan itu berusaha: (a) mencantumkan asas persamaan antara pria dan wanita dalam Undang-Undang Dasar Nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat lainnya, jika belum termasuk di dalamnnya dan untuk menjamin realisasi praktis dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat; (b) membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan peraturan lainnya termasuk sanksi-sanksinya dimana perlu, melarang semua diskriminasi terhadap wanita; (c) membuat peraturan-peraturan yang tepat untuk menghapus perlakuan diskriminasi terhadap wanita oleh setiap orang, organisasi atau perusahaan; (d) membuat peraturan-peraturan yang tepat, termasuk pembuatan undang-undang, peraturan-peraturan, kebiasaan-kebiasaan, dan praktik-praktik yang diskriminatif terhadap perempuan”.



Ketentuan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 51 ayat (1) “seorang istri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tannggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenan dengan kehidupan perkawinannya, hubungan dengan anak-anaknya, dan hak pemilikan serta pengelolaan harta bersama”; ayat (2) “setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak”; ayat (3) “setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.



Amanat konvensi dan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 telah jelas menghapuskan segala bentuk diskriminasi, dengan mengedepankan asas persamaan dalam hukum (eguality), dengan pengertian juga dalam adat sebagai hukum yang tidak tertulis. Asas mana telah diterima di seluruh dunia sebagai asas yang berlaku universal. Tidak hanya itu, asas keadilan sesungguhnya mengilhami asas persamaan, dengan demikian kita akan mampu melihat diskrimasi itu bukan merupakan takdir yang tidak bisa dilawan kaum perempuan.



Dengan pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita dan Undang-undang Hak Asasi Manusia tersebut seharusnya para sesepuh dan penatua Batak berpikir ulang dan mengkaji asas dan prinsip yang diskriminatif itu, sehingga persamaan antara wanita dan pria dikedepankan baik dalam keluarga, adat, dan dalam semua kehidupan sosial batak. Berat memang dan bahkan dilematis jika kita membuat suatu perubahan yang sangat revolusif, bahkan tidak sedikit yang menolak ide ini. Namun, pro dan kontra kita jadikan sebagai kazanah untuk memperkaya ide pemikiran dan menemukan suatu kebenaran yang hakiki tanpa merugikan bahkan memojokkan yang lain. Semua elemen harus duduk bersama untuk membicarakannya, sehingga hasil yang dicapai memuaskan semua pihak.



(pernah dipublikasi oleh Penulis di http://maddensiagian.blogspot.com/)

SKB 4 MENTERI TERBIT, SIAPA YANG DIRUGIKAN???

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, dalam wawancara Trans7 pada 21 November 2008 mengatakan diterbitkannya SKB 4 Menteri sebagai langkah pemulihan ekonomi dalam kondisi darurat seperti sekarang ini. Namun, dalam wawancara lain pengamat ekonomi Rizal Ramli pada hari yang sama membantah pernyataan tersebut dan malah menuding langkah dimaksud sebagai ajang cuci tangan pemerintah. Sebelumnya, Erman Suparno pernah mengatakan diterbitkannya SKB 4 Menteri ini, juga telah mendapat apresiasi dari kalangan internasional bahwa Pemerintah Indonesia cepat mengantisipasi kemungkinan buruk terhadap pekerja atas krisis keuangan global (www.kabarindonesia.com).


 
Buruh sangat reaktif, keberatan, dan bahkan menuntut agar SKB 4 Menteri segera dicabut. SKB 4 Menteri lebih banyak merugikan pihak buruh dan mengindikasikan pemerintah tidak lagi memihak buruh dan lebih pada suatu bentuk penindasan terhadap kaum buruh yang lemah. Namun, pemerintah menilai dalam menghadapi dampak krisis perekonomian global, pemerintah harus melakukan berbagai upaya agar ketenangan berusaha dan bekerja tidak terganggu (Pasal 1 SKB 4 Menteri). Dengan demikian, SKB 4 Menteri ini diperlukan untuk mengatur pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global. Kalau demikian, siapa yang dirugikan?



SKB 4 Menteri dan Masalahnya



SKB 4 Menteri keluar berdasarkan peraturan PER.16/MEN/X/2008, 49 Tahun 2008, 992.1/M-IND/10/2008, dan 39/M-DAG/PER/10/2008 tertanggal 22 Oktober 2008, yang ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang efektif berlaku sejak ditetapkan.



Ternyata, SKB 4 Menteri tersebut masih mengandung berbagai permasalahan antara lain, pertama, dalam SKB 4 Menteri tersebut diisyaratkan bahwa untuk mengantisipasi gejolak ekonomi Negara Indonesia termasuk di daerah, maka upah minimum sebagai salah satu komponen dalam ketenagakerjaan harus dibahas secara “BIPARTIT” (Pasal 2 huruf a poin 2). Bahkan, Fahmi Idris mendalilkan pemerintah kini tidak lagi “ikut campur” dalam negosiasi UMR terutama dalam masa krisis global, tapi kalau kondisi ekonomi normal, negosiasi soal UMR akan dilakukan secara tripartie (www.buruhmenggugat.or.id). Ini jelas merupakan sebuah pukulan telak terhadap kaum buruh, mengingat upah akan diserahkan sepenuhnya dalam mekanisme pasar. Dengan kata lain, pemerintah tidak lagi memiliki peran apa-apa dalam menentukan komponen upah minimum tersebut. Padahal, Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) telah menyebutkan secara jelas bahwa komponen upah minimum menjadi kewenangan penuh pemerintah untuk menetapkannya (Pasal 88 ayat 2 dan Pasal 89 ayat 3), berdasarkan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi/kabupaten/kota masing-masing (Pasal 21 dan Pasal 30 Kepres No. 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan). Kecenderungannya, SKB 4 Menteri ini menjadi bentuk intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, yang dilatarbelakangi usulan pengusaha nasional. Kalau demikian, percuma saja dibentuk Dewan Pengupahan Kota/Kabupaten atau Provinsi, kalau toch, penetapan upah minimum buruh ditentukan SKB 4 Menteri ini!



Kedua, Dalam SKB 4 Menteri dikatakan bahwa Gubernur dalam menetapkan upah minimum mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Penggunaan “pertumbuhan ekonomi nasional” sebagai suatu standar sangat membatasi bahkan mengesampingkan komponen penentuan upah minimum. Perlu diingat pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai jika tercipta optimisme bisnis (pasar), peningkatan daya beli masyarakat, dan peningkatan konsumsi produk domestik. Nah, apabila kenaikan upah minimum dipatok 6 % (enam persen) sesuai dengan pertumbuhan ekonomi, sementara kebutuhan hidup layak akibat krisis ekonomi internasional terus melambung jelas semakin memberatkan buruh. Efek domino dengan menghambat kenaikan upah buruh tersebut, pemerintah justru menciptakan ketidaknyamanan iklim bisnis dan mengurangi daya beli masyarakat sehingga menurunkan konsumsi produk domestik. Kondisi demikian tentu akan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional dan akan berdampak pada kenaikan upah minimum. Kuat dugaan penggunaan standar ini pesanan pengusaha guna menghindari tuntutan buruh yang menurut persepsi pengusaha sangat memberatkan keuangan internal pengusaha.



Ketiga, secara hukum ketatanegaraan dan hierarki urutan perundang-undangan jelas bahwa SKB 4 Menteri tersebut bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 10/2004”). Asas hukum lex superior derogate inferiori mengharuskan UU Ketenagakerjaan mengabaikan SKB 4 Menteri tersebut. Apabila Negara Indonesia masih konsisten sebagai negara hukum (rechtstaats) sebagaimana tersurat dalam konsitusi, maka SKB 4 Menteri tersebut sudah seharusnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Bahkan kalau kita teliti, SKB 4 Menteri tidak dikenal sebagai sumber peraturan perundang-undangan dalam UU 10/2004. Secara ketatanegaraan produk SKB 4 Menteri ini sangat blunder bahkan mencederai supremasi hukum ketatanegaraan. Lebih elegan jika pemerintah mengamendemen UU Ketenagakerjaan, khususnya yang mengatur masalah upah, meski perubahan penentuan upah tersebut masih akan mengundang perdebatan.



Keempat, kurangnya sosialisasi pemerintah sebelum diterbitkannya SKB 4 Menteri tersebut. Alasan klasik pemerintah adalah keadaan darurat yang memerlukan langkah cepat. Sekali lagi, penentuan nasib jutaan buruh tidak seharusnya ditentukan dalam hitungan hari. Seharusnya pemerintah harus mengajak buruh dan pengusaha untuk duduk bersama dan menampung aspirasi dan kepentingan masing-masing sebelum mengambil keputusan, sehingga peraturan yang dikeluarkan memenuhi unsur sosiologis serta tidak kelihatan tergesa-gesa dan cenderung dipaksakan (by force).



Penolakan Pemberlakukan SKB 4 Menteri



Hampir setiap hari kita melihat di televisi dan membaca di koran berita tentang buruh, serikat buruh bahkan yang bergabung dalam aliansi buruh melakukan aksi demo, tidak hanya di Jakarta (pusat), tetapi juga di berbagai daerah menggelar unjuk rasa menolak diterbitkannya SKB 4 Menteri ini. Mulai aksi damai sampai anarkis bercampur mewarnai unjuk rasa tersebut menandakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Penolakan pemberlakuan SKB 4 Menteri ini tidak hanya datang dari kalangan buruh, tetapi juga datang dari pemerintah daerah/kota. Pemkab Jember, terkait masalah pengupahan, tidak akan menerapkan SKB 4 Menteri. Walikota Bandung Dada Rosada mengatakan Pemkab Bandung telah memutuskan untuk mengabaikan SKB 4 Menteri. Di Solo, selain menggelar unjuk rasa di Bunderan Gladak, Jalan Slamet Riyadi, para buruh juga membagi-bagikan pamflet kepada pengguna jalan dan menggelar happening art yang menggambarkan penderitaan para buruh, apabila SKB tetap disahkan. Sedangkan di Karanganyar, para buruh menggelar unjuk rasa dengan mendatangi pemkab setempat dan meminta dukungan agar pemkab setempat mendukung aksi penolakan SKB 4 Menteri.



Hak Uji Material SKB 4 Menteri



Secara politik, mulai turun ke jalan sampai mendatangi istana telah dilakukan para buruh untuk menolak pemberlakuan SKB 4 Menteri, namun seperti kebiasaan sebelumnya pemerintah enggan mengoreksi keputusan yang telah dibuat. Satu-satunya cara tentu mengajukan permohonan hak uji material ke Mahkamah Agung, yang secara konsitusi berkewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang (Pasal 11 ayat 2 (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Buruh harus rela berkorban dan bersabar melawan ketidakadilan yang terlegalisasi melalui SKB 4 Menteri tersebut. Tentu tidak hanya kepuasan sementara yang perlu dicari, namun supremasi dan penghormatan hukum perlu dijunjung sesuai dengan porsi konstitusi. Akhirnya konstitusi akan memberikan kebenaran material kepada semua pihak, namun dalam proses peradilannya kita sangat mengharapkan suatu peradilan yang fair dan bersih, tanpa ada intervensi dari siapa pun termasuk pemerintah yang berkuasa. Demikian juga pemerintah, harus legowo mengakui kesalahan dan mau memperbaiki SKB 4 Menteri jika nanti buruh memenangkan gugatan uji material. Melalui gugatan uji material kebenaran material akan tercapai dan hak-hak dasar buruh sebagaimana telah diberikan UU Ketenagakerjaan dan peraturan ketenagakerjaan lainnya tidak boleh diabaikan.



Sebagai penutup, mengutip pendapat Hugo Chaves yang berani menentang siapa saja yang mau menyengsarakan rakyatnya, hingga dia sampai mengatakan ” WALAU SAYA SAMPAI MASUK NERAKA SEKALIPUN, SAYA AKAN TETAP MEMBELA RAKYATKU”.

(pernah dipublikasi oleh Penulis di http://maddensiagian.blogspot.com/)

Peranan Hukum Sebagai Sarana Pembangunan


Pada tanggal 19 Januari 1974, peranan hukum sebagai sarana pembangunan diperkenalkan dan diakui oleh Kepala Negara RI pada waktu pelantikan Menteri Kehakiman, dengan menyatakan antara lain bahwa:

“Walaupun pembangunan mengharuskan rangkaian perobahan yang mendesak, akan tetapi sangat mutlak pula terpeliharanya ketertiban itu sendiri tidak boleh diberi arti yang statis, yang hanya mempertahankan “status quo”. Hukum sebagai sarana yang penting untuk memelihara ketertiban harus dikembangkan dan dibina sedemikian, sehingga dapat member ruang gerak bagi perobahan tadi. Bukannya sebaliknya, menghambat usaha-usaha pembaharuan karena semata-mata ingin mempertahankan nilai-nilai lama. Sesungguhnya hukum harus dapat tampil ke depan, menunjukkan arah dan member jalan bagi pembaharuan”.

(sumber: Hukum, Masyarakat dan Pembangunan Hukum Nasional, Mochtar Kusumaatmadja, Cetakan keempat, Oktober 2000, Penerbit Putra A Bardin cv).

Happy Iedul Fitri 1431H.


Perkenankanlah maddenlawyer.blogspot.com mengucapkan

Minggu, 05 September 2010

PRODUCT LIABILITY (TANGUNG JAWAB PRODUK)


Hampir setiap hari kita mengkonsumsi makanan, minuman, pakaian, barang elektronik dan lain-lain. Hanya saja kadang kita jarang dan bahkan tidak terlalu memperhatikan apakah produk-produk tersebut telah memenuhi standar yang dipersyaratkan, mutu, kemasan, tidak cacat dan bahkan kita tidak mau tahu siapa yang memproduksi produk tersebut, namun kecenderungan hanya melihat mereknya saja. Sebagai konsumen, kepedulian dan kesadaran atas perlindungan hak haruslah dibangun, sehingga apabila produk yang kita gunakan tidak sesuai dengan standar tadi, maka kita dapat menuntut di depan hukum segala kerugian yang kita alami sebagai akibat mengkonsumsi/menggunakan produk tersebut.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU 8/1999”) memperkenalkan kembali suatu prinsip yang dikenal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yaitu: tanggung jawab produk (product liability). Agnes M. Toar mengartikan tanggung jawab produk sebagai tangung jawab para produsen untuk produk yang dibawanya ke dalam peredaran, yang menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada produk tersebut (Sidharta, Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit PT. Gransindo, Jakarta, 2000, halaman 65). Pasal 1491 jo 1504 KUH Perdata menyebutkan bahwa Penjual harus bertanggung jawab atas barang yang mempunyai cacat tersembunyi. Tanggung jawab produk tersebut hanya dibatasi pada tanggung jawab penjual atas cacat tersembunyi dalam barang yang diperdagangkan. Pembuat KUH Perdata sudah mengantisipasi kemungkinan penjual melakukan tindakan kebohongan mengenai produk yang diperdagangkannya, yang pembeli tidak mengetahui sewaktu membeli.

Sebagai perbandingan di Amerika, defenisi tanggung jawab produk (product liability). Dijabarkan sebagai berikut:

“Product liability is the legal responsibility of manufacturers and sellers to buyers, users and bystanders for damages or injuries suffered because of defects in goods. Product liability can occur at any point along the chain of production and distribution. In turn, the manufacturer, wholesaler and retailer all may be held responsible for injury caused by a product.”

(http://public.getlegal.com/legal-info-center/product-liability).



Sidarta dalam bukunya Hukum Perlindungan Konsumen, Penerbit PT. Gransindo, Jakarta, 2000 mengemukakan dasar gugatan untuk tanggung jawab produk ini dapat dilakukan atas landasan adanya:

1. Pelanggaran jaminan (breach of warranty);

Pelanggaran jaminan berkaitan dengan jaminan pelaku usaha (khususnya produsen), bahwa barang yang dihasilkan atau dijual tidak mengandung cacat. Pengertian cacat bisa terjadi dalam konstruksi barang (construction defect), desain (design defect), dan/atau pelabelan (labeling defect).



2. Kelalaian (negligence);

Kelalaian bila si pelaku usaha yang digugat itu gagal menunjukkan, ia cukup berhati-hati (reasonable care) dalam membuat, menyimpan, mengawasi, memperbaiki, memasang label, atau mendistribusikan suatu barang.



3. Tanggung jawab mutlak (strict liability).

Sebagaimana dikutip pendapat Menurut R.C. Hoeber yang mengatakan biasanya prinsip tanggung jawab mutlak ini diterapkan (1) konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks, (2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya, misalnya dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) asas ini dapat memaksa produsen lebih hati-hati.

Secara tegas Pasal 8 UU 8/1999 mengatur perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha (produsen), antara lain:

1. melarang pelaku usaha (produsen) memperdagangkan barang dan/atau jasa yang:

a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;

e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut;tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut;

f. tidak mencantumkan tanggal kadaluarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu;

g. tidak mengikuti keterangan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan “halal” yang dicantumkan dalam label;

h. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat samping, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus dipasang/dibuat;

i. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud;

3. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

Pelaku usaha yang melakukan tindakan-tindakan tersebut di atas bertanggung jawab, berdasarkan Pasal 19 ayat (1) UU 8/1999, memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.

Selain ganti rugi di atas, sanksi pidana dapat dikenakan terhadap pelaku usaha (produsen) dan/atau pengurusnya dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak sebesar Rp.2.000.000.000,00 (dua milyar Rupiah) (Pasal 61 jo 62 UU 8/1999).

Rabu, 01 September 2010

KODE ETIK ADVOKAT


Tulisan ini terinspirasi ketika membaca www.hukumonline.com edisi 1 September 2010 mengenai kasus dugaan pelanggaran asusila terhadap kliennnya oleh Clovis M Bowles pengacara senior asal Iowa (Amerika Serikat).



Sebagaimana dikutip dari www.desmoinesregister.com, the Iowa Supreme Court's Attorney Disciplinary Board alleges that Clovis M. Bowles, 56, had sexual relations with a 33-year-old female client on several occasions in 2007 and 2008. Oleh karenanya, atas dugaan tersebut, the Grievance Commission of the Iowa Supreme Court merekomendasikan agar pengadilan mencabut sementara ijin Clovis M Bowles selama 3 (tiga) tahun.



Sependek pengetahuan Penulis, di Indonesia belum ada preseden kasus seperti di atas. Namun, perlu juga kita cermati fenomena seperti ini merupakan gejala yang mungkin terjadi yang dilakukan seorang advokat sebagai efek lain hubungan advokat-klien dimana posisi advokat lebih diuntungkan atau mungkin saja berlaku sebaliknya. Klien dalam posisi membutuhkan pertolongan hukum yang untuk menyelesaikan permasalahan hukum yang dihadapi bersedia memberikan sesuatu dan disisi lain advokat sebagai pemberi pertolongan hukum dapat melihat suatu kesempatan yang menguntungkan dirinya. Penulis tidak ada maksud menuduh semua advokat seperti itu, namun hanya bersifat dugaan saja.

Perlu diketahui dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat (“UU Advokat”) dalam Pasal 6 ayat (2) huruf e disebutkan bahwa Advokat dapat dikenai tindakan (teguran lisan, teguran tertulis, pemberhentian sementara, pemberhentian tetap) apabila melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundangan-undangan dan atau perbuatan tercela. Walaupun memang, dalam Kode Etik Advokat Indonesia yang disahkan pada tanggal 22 Mei 2002 (“Kode Etik Advokat Indonesia”) tidak dijabarkan lebih lanjut mengenai pelanggaran peraturan perundang-undangan dan perbuatan tercela tersebut, khususnya apabila advokat melakukan seperti yang dilakukan oleh Clovis M Bowles.



Pasal 2 Kode Etik Advokat Indonesia menyebutkan:



“Advokat Indonesia adalah warga Negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, bersikap satria, jujur dalam mempertahankan keadilan dan kebenaran dilandasi moral yang tinggi, luhur dan mulia, dan yang dalam melaksanakan tugasnya menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah jabatannya”

Penulis menghimbau agar rekan-rekan Advokat di dalam menjalankan profesinya sebagai profesi yang terhormat (officium nobile) haruslah menjunjung tinggi hukum, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, kode etik Advokat serta sumpah, sehingga terhindar dari ancaman hukuman yang malah merugikan rekan di kemudian hari.

Rabu, 18 Agustus 2010

Hak Mendahulu Pemegang Fidusia dalam Kepailitan dan Pelaksanaanya


Jaminan fidusia hanya akan lahir sebagai turunan (assessoir) dari suatu perjanjian hutang piutang (perjanjian pokok) yang menjaminkan benda bergerak berwujud maupun tidak berwujud milik debitor, sebagai agunan bagi pelunasan utang dan memberikan kreditur kedudukan yang diutamakan terhadap kreditor lainnya. Fidusia ini merupakan penyederhanaan prinsip Pasal 1131 KUH Perdata yang menyebutkan segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitor itu. Dalam pengertian sempit, barang bergerak berwujud maupun tidak berwujud yang ada pada saat berlakunya perjanjian utang piutang, menjadi tanggungan sepenuhnya untuk pelunasan utang kepada kreditor.



Kemudian, Pasal 1132 jo Pasal 1134 KUH Perdata memberikan kemungkinan bahwa diantara para kreditor dapat diberikan suatu hak istimewa (hak didahulukan), sehingga menyebabkan kreditor mana berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya. Prinsip ini kemudian diadopsi oleh Pasal 27 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (“UU 42/1999”), yang menyebutkan penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya, untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Bahkan lebih lanjut diatur bahwa keistimewaan pemegang jaminan fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia.



Pengakuan terhadap hak istimewa pemegang fidusia tetap dipertahankan dengan lahirnya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”). Pasal 55 UU 37/2004 menjamin bahwa setiap kreditor pemegang jaminan fidusia dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Permasalahan eksekusi ini sedikit berbeda antara rezim UU 42/1999 dengan UU 37/2004. Dalam UU 42/1999 menegaskan apabila debitor cedera janji, penerima fidusia mempunyai hak menjual benda objek fidusia. Berbeda dengan UU 37/2004, pelaksanaan eksekusi tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, kecuali kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya insolvensi. Pelaksanaan eksekusi setelah lewatnya penangguhan 90 (sembilan puluh) hari tersebut hanya dapat dilakukan setelah dilakukan pencocokan penagihan kepada kurator.



Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi dan berdasarkan Pasal 29 UU 42/1999 dapat dilakukan dengan cara:



1. Pelaksanaan titel eksekutorial;

Akta yang mempunyai irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dalam sertipikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) UU 42/1999, adalah suatu syarat agar suatu fiat eksekusi dapat dilakukan. Dengan irah-irah tersebut, mensejajarkan kekuatan akta fidusia dengan putusan pengadilan. Dengan demikian, akta tersebut tinggal dieksekusi, tanpa perlu lagi suatu putusan pengadilan.

2. Pelelangan umum;

Pelelangan umum ini dilakukan lewat lembaga pelelangan umum (kantor lelang).

3. Penjualan di bawah tangan.

Penjulana di bawah tangan dapat dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:



a. dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia;

b. apabila penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi yang menguntungkan para pihak;

c. diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepntingan;

d. diumumkan dalam sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan; dan

e. pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukabn secara tertulis.



Apabila jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut lewat, maka kurator harus menuntut kepada pemegang jaminan fidusia untuk menyerahkan benda objek fidusia untuk selanjutnya dijual (dieksekusi) oleh kurator, yang berdasarkan Pasal 185 UU 37/2004 dapat dilakukan dengan cara:



1. penjualan di muka umum.

2. penjualan dibawah tangan (dengan izin hakim pengawas).

Pengangkatan anak WNI oleh WNA




Pengangkatan anak berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah RI No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (“PP 54/2007”) jo Pasal 1 ayat 2 Peraturan Menteri Sosial RI No. 110/HUK/2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak (“Permensos 110/2009”) adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. Pembatasan pengangkatan anak adalah paling banyak 2 (dua) kali dengan jarak waktu paling singkat 2 (dua) tahun, kecuali calon anak angkat adalah kembar, pengangkatan anak dapat dilakukan sekaligus.



Sedangkan anak angkat berdasarkan Pasal 1 angka 1 PP 54/2007 adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat tersebut. Berdasarkan Pasal 4 Permensos 110/2009 menyebutkan bahwa persyaratan anak yang akan diangkat, harus memenuhi:



1. Belum berusia 18 (delapan belas) tahun;

2. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;

3. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak; dan

4. Memerlukan perlidungan khusus.



Persyaratan Calon Orang Tua Angkat harus memenuhi persyaratan:

1. Calon Orang Tua Angkat

(1) Umur minimal 30 tahun dan maksimal 55 tahun berdasarkan bukti identitas diri yang sah (Akte Kelahiran dan bukti lainnya)

(2) Telah menikah sekurang-kurangnya 5 tahun yang dibuktikan dengan surat Nikah atau Akta Perkawinan

(3) Telah bertempat tinggal di Indonesia sekurang-kurangnya 2 tahun

(4) Belum mempunyai anak, atau sudah mempunyai seorang anak atau telah mengangkat seorang anak.

(5) Mendapat surat keterangan dokter bahwa tidak bisa mempunyai anak atau tidak bisa mempunyai anak lagi

(6) Mampu secara ekonomi berdasarkan surat keterangan dari tempatnya bekerja

(7) Berkelakuan baik

(8) Sehat jasmani & rohani berdasarkan keterangan dari dokter pemerintah.



2. Surat-surat yang perlu dilengkapi adalah

(1) Surat persetujuan mengangkat anak dari Kedutaan/konsulat di Indonesia

(2) Surat Nikah

(3) Akta Kelahiran

(4) Akta Kelahiran dari anak sebelumnya

(5) Surat persetujuan mengangkat anak dari keluarga besar suami/istri.

(6) Surat Keterangan Sehat yang dikeluarkan oleh dokter dari rumah sakit pemerintah (asli)

(7) Surat Keterangan Ginekologis oleh dokter kandungan dari rumah sakit pemerintah (asli)

(8) Surat keterangan penghasilan

(9) Surat pernyataan motivasi pengangkatan anak

(10) Surat keterangan domisili

(11) Surat keterangan dari kedutaan di Jakarta yang menyatakan jaminan bahwa anak yang diangkat akan diperbolehkan memasuki negara asal orang tua.

(12) Surat pernyataan dari calon orang tua bahwa akan tetap menghubungi kedutaan Indonesia mengenai perkembangan anak angkatnya.

(13) Untuk surat pada poin 2-5 harus disahkan oleh KBRI di negara asal orang tua dan oleh kedutaan negara asal orang tua di Indonesia.

(14) Semua dokumen dari negara asal orang tua harus diterjemahkan oleh penerjemah resmi yang telah disumpah. Pelaksanaanya akan dilakukan oleh YSI dengan biaya dari calon orang tua angkat.



(Sumber: http://www.sayapibujakarta.org/ind/adopsi.html)

Permohonan pengangkatan anak yang telah memenuhi syarat di atas, diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan penetapan pengadilan.

Minggu, 15 Agustus 2010

Sejarah Peraturan Kepailitan di Indonesia


Pengaturan mengenai kepailitan pada awalnya diatur dalam 2 (dua) sumber hukum, yaitu:



1. Buku III KUH Dagang dengan judul “van de voorzieningen in geval van onvermogen van de koopman (peraturan tentang ketidakmapuan pedagang), Pasal 749-910 KUH Dagang.



2. Titel VII dari Buku III Burgerlijke Rechtvordering (Rv) yang berjudul “van de toestand van kennelijk onvermogen” (keadaan yang nyata tentang ketidakadilan yang berlaku bagi bukan pedagang, Pasal 899-915.



Pada tahun 1983 Prof. Molengraff telah memajukan suatu usul Rencana Undang-Undang untuk mengganti Buku III KUH Dagang Belanda (voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden) dijadikan Undang-Undang pada tahun 1983, yaitu Undang-Undang Kepailitan (Faillissementswet) S. 1983 No. 140) yang berlaku pada tanggal 1 September 1986.



Kedua peraturan tersebut telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, di antaranya ialah: banyak formalitas yang harus ditempuh, biaya tinggi, terlalu sedikit bagi Kreditor untuk dapat ikut campur terhadap jalannya proses kepailitan; dan pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama. Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut, maka timbul keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak banyak, agar memudahkan dalam pelaksanaannya. Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening op het Faillissement en de Surseance van Betalin voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan Untuk Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Untuk Orang-Orang Eropa). Berdasarkan Verordening ter invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348), Faillissementsverordening (S. 1905-217) itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal I November 1906 (“Peraturan Kepailitan”). Peraturan Kepailitan itu terdiri dari 2 (dua) bab, yaitu:



1. Bab I tentang Kepailitan, Pasal 1 s/d Pasal 211; dan



2. Bab II tentang Penundaan pembayaran, Pasal 212 s/d Pasal 279.



Peraturan Kepailitan tersebut hanya berlaku bagi orang yang termasuk golongan Eropa saja. Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi hukum yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu terhadap penduduk Hindia Belanda. Pada waktu itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling, penduduk Hindia Belanda dibagi atas beberapa golongan sebagai berikut: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputra; (3) Golongan Timur Asing, yang dibagi lagi ke dalam: (a) Golongan Timur Asing Cina; dan (b) Golongan Timur Asing bukan Cina (India, Pakistan, Arab dan Iain-Iain).



Pemerintah Pendudukan Belanda di Jakarta pernah mengeluarkan suatu Peraturan Darurat Kepailitan (Noordregeling Faillissementen) pada tahun 1947 (S.1947-214) yang mulai berlaku pada tanggal 19 Desember 1947. Dalam konsideran Peraturan Darurat Kepailitan tersebut berbunyi :



“Dat Hij, het noodzakelijke achtende bijzondere voorzieningen te treffen voor de opheffing van voor de Japanse capitulatie uitgesproken faillissementen alsmede voor het uitspreken van faillissementen”.



artinya:



“Bahwa Ia, memandang perlu untuk mengatur secara khusus tentang penghapusan putusan kepailitan yang diucapkan sebelum Jepang menyerah kalah (jatuh) dan untuk memutuskan kepailitan”.



Menurut Purwosutjipto bahwa Peraturan Darurat Kepailitan (Noordregeling Faillissementen) 1947 tersebut di atas, telah tidak berfungsi lagi yang membawa akibat tidak berlaku dengan alasan-alasan:



1. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:



“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”,



Maka pengesahan yang dimaksud dalam pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, adalah segala Badan-Badan Negara dan peraturan-peraturan yang diterbitkan/diperbuat sebelum tahun 1945, sedangkan Peraturan Darurat Kepailitan dikeluarkan pada tahun 1947, sehingga dengan demikian pengesahan yang dimaksud dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tidak meliputi/mencakup Peraturan Darurat Kepailitan 1947 yang dimaksud di atas.



2. Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itu bersifat “Darurat” (untuk sementara) yang berarti untuk menghapuskan atau meniadakan putusan-putusan kepailitan yang terjadi sebelum Jepang jatuh atau menyerah kalah. Ketentuan ini sudah tentu tidak berlaku lagi, karena tugas sementara itu telah usai dilaksanakan.



Dengan demikian berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Kepailitan yang berlaku di Indonesia saat itu adalah peraturan khusus Peraturan Kepailitan (Faillissements-verordening) S.1905-217 jo S.1906-348.



Bahwa krisis moneter yang melanda Negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Keadaan tersebut berakibat timbulnya masalah-masalah yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya. Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya.



Pada tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan dilakukan oleh karena Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissements-verordening Staatblad1905-217 jo Staatblad 1906-348 yang merupakan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hokum masyarakat untuk penyelesaian utang piutang.



Akhirnya untuk memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, maka pada tanggal 18 Oktober 2004 diundangkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan berlaku sampai dengan saat ini.





Sumber:



1. Dr. Lee A Weng, S.H., Tinjauan Pasal Demi Pasal Fv (faillissements-verordening) S.1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348 jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, 2001.

2. Ny. Retnowulan Sutantio, S.H., Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan, Seri Varia Yustisia 1, Ikahi Cabang M.A.R.I., Cetakan Kedua 1996.

3. http://www.slideshare.net/joehasan/sejarah-hukum-kepailitan-di-indonesia.

4. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 8, Penerbit Djambatan, Jakarta 1984.

5. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Jumat, 13 Agustus 2010

Cerita Dongeng tentang Undue Influence, Misbruik van Omstandigheden, Penyalahgunaan Keadaan

Alkisah ada seorang putri penggiling gandum yang sebagai akibat bualan orang tuanya berada dalam situasi sulit. Orang tuanya membual putrinya dapat menenun jerami menjadi benang emas.

Sang Raja percaya dan meminta putri penggiling gandum itu mendemonstrasikan "kebolehannya". Apabila sang putri berhasil, ia akan dipersunting sebagai permaisuri. Apabila tidak, ia akan dibunuh. Dalam situasi sangat sulit itu, tiba-tiba muncul seorang "Bocah ajaib". Ia bersedia menyelesaikan titah sang Raja dengan syarat, setelah sang putri menjadi permaisuri, ia harus menyerahkan putra pertamanya yang dilahirkannya kepada bocah ajaib tadi.

Tidaklah heran sang putri menyetujui usul itu, akan tetapi tidak usah diherankan pula apabila sang putri, yang sementara itu sudah menjadi permaisuri, kemudian mengingkari janjinya.

Moral kisah ini adalah: suatu janji mengikat. Ikatan itu tidak ada, apabila janji itu diberikan karena tekanan keadaan.

(sumber: Setiawan, S.H., Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 1992).

Kamis, 12 Agustus 2010

Selamat Datang

Salam fiat justitia ruat caelum,


Walaupun blog ini baru dipublikasikan, namun saya berpikir tidak ada kata terlambat untuk mengikuti hukum karena hukum hidup dan terus berkembang dalam masyarakat (living law), maka, saya mencoba mempublikasi tulisan-tulisan saya lewat blog ini setelah mengikuti berbagai seminar, workshop, pelatihan, diskusi, dan pengalaman praktek selama ini.

Adalah suatu kehormatan apabila teman, sahabat, rekan pengamat dan pemerhati hukum dapat memberikan komentar dan saran.

Mudah-mudahan blog ini menjadi ruang dan sarana diskusi mengenai topik-topik hukum dan bisa memberikan manfaat untuk perkembangan hukum kedepannya.

Salam,

Maddenleo T. Siagian

Pengangkatan dan Pengambilan Sumpah Advokat Tahun 2010

Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (“DPN PERADI”) sebagaimana diumumkan dalam Pengumuman Tentang Pengangkatan dan Pengambilan Sumpah atau Janji Advokat tertanggal 11 Agustus 2010 akan melakukan Pengangkatan dan Pengambilan Sumpah atau Janji Advokat kepada Calon Advokat dan Advokat yang diangkat dalam Pengangkatan Advokat pada tanggal 22 April 2010.


Pengangkatan Advokat baru dan Pengambilan Sumpah Advokat dimulai untuk wilayah:
  1. Pengadilan Tinggi Denpasar (Bali) pada tanggal 24 Agustus 2010; dan
  2. Pengadilan Tinggi (Jawa Tengah) pada tanggal 23 September 2010.
Sementara untuk wilayah hukum lainnya, masih menunggu konfirmasi dari Kepaniteraan Pengadilan Tinggi setempat dan akan diumumkan oleh DPN PERADI kemudian, yaitu wilayah antara lain:

  1. Pengadilan Tinggi Denpasar;
  2. Pengadilan Tinggi Semarang;
  3. Pengadilan Tinggi Surabaya;
  4. Pengadilan Tinggi Yogyakarta;
  5. Pengadilan Tinggi Medan;
  6. Pengadilan Tinggi Pekanbaru;
  7. Pengadilan Tinggi Padang;
  8. Pengadilan Tinggi Palembang;
  9. Pengadilan Tinggi Tanjungkarang;
  10. Pengadilan Tinggi Jakarta;
  11. Pengadilan Tinggi Bandung;
  12. Pengadilan Tinggi Makassar;
  13. Pengadilan Tinggi Pontianak;
  14. Pengadilan Tinggi Palu;
  15. Pengadilan Tinggi Banjarmasin;
  16. Pengadilan Tinggi Samarinda;
  17. Pengadilan Tinggi Manado; dan
  18. Pengadilan Tinggi Jayapura.

 (sumber: www.peradi.or.id)