Selasa, 07 September 2010

SKB 4 MENTERI TERBIT, SIAPA YANG DIRUGIKAN???

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, dalam wawancara Trans7 pada 21 November 2008 mengatakan diterbitkannya SKB 4 Menteri sebagai langkah pemulihan ekonomi dalam kondisi darurat seperti sekarang ini. Namun, dalam wawancara lain pengamat ekonomi Rizal Ramli pada hari yang sama membantah pernyataan tersebut dan malah menuding langkah dimaksud sebagai ajang cuci tangan pemerintah. Sebelumnya, Erman Suparno pernah mengatakan diterbitkannya SKB 4 Menteri ini, juga telah mendapat apresiasi dari kalangan internasional bahwa Pemerintah Indonesia cepat mengantisipasi kemungkinan buruk terhadap pekerja atas krisis keuangan global (www.kabarindonesia.com).


 
Buruh sangat reaktif, keberatan, dan bahkan menuntut agar SKB 4 Menteri segera dicabut. SKB 4 Menteri lebih banyak merugikan pihak buruh dan mengindikasikan pemerintah tidak lagi memihak buruh dan lebih pada suatu bentuk penindasan terhadap kaum buruh yang lemah. Namun, pemerintah menilai dalam menghadapi dampak krisis perekonomian global, pemerintah harus melakukan berbagai upaya agar ketenangan berusaha dan bekerja tidak terganggu (Pasal 1 SKB 4 Menteri). Dengan demikian, SKB 4 Menteri ini diperlukan untuk mengatur pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global. Kalau demikian, siapa yang dirugikan?



SKB 4 Menteri dan Masalahnya



SKB 4 Menteri keluar berdasarkan peraturan PER.16/MEN/X/2008, 49 Tahun 2008, 992.1/M-IND/10/2008, dan 39/M-DAG/PER/10/2008 tertanggal 22 Oktober 2008, yang ditandatangani oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno, Menteri Perindustrian Fahmi Idris, Menteri Dalam Negeri Mardiyanto, dan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu yang efektif berlaku sejak ditetapkan.



Ternyata, SKB 4 Menteri tersebut masih mengandung berbagai permasalahan antara lain, pertama, dalam SKB 4 Menteri tersebut diisyaratkan bahwa untuk mengantisipasi gejolak ekonomi Negara Indonesia termasuk di daerah, maka upah minimum sebagai salah satu komponen dalam ketenagakerjaan harus dibahas secara “BIPARTIT” (Pasal 2 huruf a poin 2). Bahkan, Fahmi Idris mendalilkan pemerintah kini tidak lagi “ikut campur” dalam negosiasi UMR terutama dalam masa krisis global, tapi kalau kondisi ekonomi normal, negosiasi soal UMR akan dilakukan secara tripartie (www.buruhmenggugat.or.id). Ini jelas merupakan sebuah pukulan telak terhadap kaum buruh, mengingat upah akan diserahkan sepenuhnya dalam mekanisme pasar. Dengan kata lain, pemerintah tidak lagi memiliki peran apa-apa dalam menentukan komponen upah minimum tersebut. Padahal, Undang-undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) telah menyebutkan secara jelas bahwa komponen upah minimum menjadi kewenangan penuh pemerintah untuk menetapkannya (Pasal 88 ayat 2 dan Pasal 89 ayat 3), berdasarkan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi/kabupaten/kota masing-masing (Pasal 21 dan Pasal 30 Kepres No. 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan). Kecenderungannya, SKB 4 Menteri ini menjadi bentuk intervensi pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, yang dilatarbelakangi usulan pengusaha nasional. Kalau demikian, percuma saja dibentuk Dewan Pengupahan Kota/Kabupaten atau Provinsi, kalau toch, penetapan upah minimum buruh ditentukan SKB 4 Menteri ini!



Kedua, Dalam SKB 4 Menteri dikatakan bahwa Gubernur dalam menetapkan upah minimum mengupayakan agar tidak melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Penggunaan “pertumbuhan ekonomi nasional” sebagai suatu standar sangat membatasi bahkan mengesampingkan komponen penentuan upah minimum. Perlu diingat pertumbuhan ekonomi nasional dapat dicapai jika tercipta optimisme bisnis (pasar), peningkatan daya beli masyarakat, dan peningkatan konsumsi produk domestik. Nah, apabila kenaikan upah minimum dipatok 6 % (enam persen) sesuai dengan pertumbuhan ekonomi, sementara kebutuhan hidup layak akibat krisis ekonomi internasional terus melambung jelas semakin memberatkan buruh. Efek domino dengan menghambat kenaikan upah buruh tersebut, pemerintah justru menciptakan ketidaknyamanan iklim bisnis dan mengurangi daya beli masyarakat sehingga menurunkan konsumsi produk domestik. Kondisi demikian tentu akan menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional dan akan berdampak pada kenaikan upah minimum. Kuat dugaan penggunaan standar ini pesanan pengusaha guna menghindari tuntutan buruh yang menurut persepsi pengusaha sangat memberatkan keuangan internal pengusaha.



Ketiga, secara hukum ketatanegaraan dan hierarki urutan perundang-undangan jelas bahwa SKB 4 Menteri tersebut bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (“UU 10/2004”). Asas hukum lex superior derogate inferiori mengharuskan UU Ketenagakerjaan mengabaikan SKB 4 Menteri tersebut. Apabila Negara Indonesia masih konsisten sebagai negara hukum (rechtstaats) sebagaimana tersurat dalam konsitusi, maka SKB 4 Menteri tersebut sudah seharusnya dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Bahkan kalau kita teliti, SKB 4 Menteri tidak dikenal sebagai sumber peraturan perundang-undangan dalam UU 10/2004. Secara ketatanegaraan produk SKB 4 Menteri ini sangat blunder bahkan mencederai supremasi hukum ketatanegaraan. Lebih elegan jika pemerintah mengamendemen UU Ketenagakerjaan, khususnya yang mengatur masalah upah, meski perubahan penentuan upah tersebut masih akan mengundang perdebatan.



Keempat, kurangnya sosialisasi pemerintah sebelum diterbitkannya SKB 4 Menteri tersebut. Alasan klasik pemerintah adalah keadaan darurat yang memerlukan langkah cepat. Sekali lagi, penentuan nasib jutaan buruh tidak seharusnya ditentukan dalam hitungan hari. Seharusnya pemerintah harus mengajak buruh dan pengusaha untuk duduk bersama dan menampung aspirasi dan kepentingan masing-masing sebelum mengambil keputusan, sehingga peraturan yang dikeluarkan memenuhi unsur sosiologis serta tidak kelihatan tergesa-gesa dan cenderung dipaksakan (by force).



Penolakan Pemberlakukan SKB 4 Menteri



Hampir setiap hari kita melihat di televisi dan membaca di koran berita tentang buruh, serikat buruh bahkan yang bergabung dalam aliansi buruh melakukan aksi demo, tidak hanya di Jakarta (pusat), tetapi juga di berbagai daerah menggelar unjuk rasa menolak diterbitkannya SKB 4 Menteri ini. Mulai aksi damai sampai anarkis bercampur mewarnai unjuk rasa tersebut menandakan ketidakpuasan terhadap pemerintah. Penolakan pemberlakuan SKB 4 Menteri ini tidak hanya datang dari kalangan buruh, tetapi juga datang dari pemerintah daerah/kota. Pemkab Jember, terkait masalah pengupahan, tidak akan menerapkan SKB 4 Menteri. Walikota Bandung Dada Rosada mengatakan Pemkab Bandung telah memutuskan untuk mengabaikan SKB 4 Menteri. Di Solo, selain menggelar unjuk rasa di Bunderan Gladak, Jalan Slamet Riyadi, para buruh juga membagi-bagikan pamflet kepada pengguna jalan dan menggelar happening art yang menggambarkan penderitaan para buruh, apabila SKB tetap disahkan. Sedangkan di Karanganyar, para buruh menggelar unjuk rasa dengan mendatangi pemkab setempat dan meminta dukungan agar pemkab setempat mendukung aksi penolakan SKB 4 Menteri.



Hak Uji Material SKB 4 Menteri



Secara politik, mulai turun ke jalan sampai mendatangi istana telah dilakukan para buruh untuk menolak pemberlakuan SKB 4 Menteri, namun seperti kebiasaan sebelumnya pemerintah enggan mengoreksi keputusan yang telah dibuat. Satu-satunya cara tentu mengajukan permohonan hak uji material ke Mahkamah Agung, yang secara konsitusi berkewenangan untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang (Pasal 11 ayat 2 (b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Buruh harus rela berkorban dan bersabar melawan ketidakadilan yang terlegalisasi melalui SKB 4 Menteri tersebut. Tentu tidak hanya kepuasan sementara yang perlu dicari, namun supremasi dan penghormatan hukum perlu dijunjung sesuai dengan porsi konstitusi. Akhirnya konstitusi akan memberikan kebenaran material kepada semua pihak, namun dalam proses peradilannya kita sangat mengharapkan suatu peradilan yang fair dan bersih, tanpa ada intervensi dari siapa pun termasuk pemerintah yang berkuasa. Demikian juga pemerintah, harus legowo mengakui kesalahan dan mau memperbaiki SKB 4 Menteri jika nanti buruh memenangkan gugatan uji material. Melalui gugatan uji material kebenaran material akan tercapai dan hak-hak dasar buruh sebagaimana telah diberikan UU Ketenagakerjaan dan peraturan ketenagakerjaan lainnya tidak boleh diabaikan.



Sebagai penutup, mengutip pendapat Hugo Chaves yang berani menentang siapa saja yang mau menyengsarakan rakyatnya, hingga dia sampai mengatakan ” WALAU SAYA SAMPAI MASUK NERAKA SEKALIPUN, SAYA AKAN TETAP MEMBELA RAKYATKU”.

(pernah dipublikasi oleh Penulis di http://maddensiagian.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar