Minggu, 15 Agustus 2010

Sejarah Peraturan Kepailitan di Indonesia


Pengaturan mengenai kepailitan pada awalnya diatur dalam 2 (dua) sumber hukum, yaitu:



1. Buku III KUH Dagang dengan judul “van de voorzieningen in geval van onvermogen van de koopman (peraturan tentang ketidakmapuan pedagang), Pasal 749-910 KUH Dagang.



2. Titel VII dari Buku III Burgerlijke Rechtvordering (Rv) yang berjudul “van de toestand van kennelijk onvermogen” (keadaan yang nyata tentang ketidakadilan yang berlaku bagi bukan pedagang, Pasal 899-915.



Pada tahun 1983 Prof. Molengraff telah memajukan suatu usul Rencana Undang-Undang untuk mengganti Buku III KUH Dagang Belanda (voorzieningen in geval van onvermogen van kooplieden) dijadikan Undang-Undang pada tahun 1983, yaitu Undang-Undang Kepailitan (Faillissementswet) S. 1983 No. 140) yang berlaku pada tanggal 1 September 1986.



Kedua peraturan tersebut telah menimbulkan banyak kesulitan dalam pelaksanaannya, di antaranya ialah: banyak formalitas yang harus ditempuh, biaya tinggi, terlalu sedikit bagi Kreditor untuk dapat ikut campur terhadap jalannya proses kepailitan; dan pelaksanaan kepailitan memakan waktu yang lama. Karena adanya kesulitan-kesulitan tersebut, maka timbul keinginan untuk membuat peraturan kepailitan yang sederhana dengan biaya yang tidak banyak, agar memudahkan dalam pelaksanaannya. Peraturan ini lengkapnya bernama Verordening op het Faillissement en de Surseance van Betalin voor de Europeanen in Nederlands Indie (Peraturan Untuk Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Untuk Orang-Orang Eropa). Berdasarkan Verordening ter invoering van de Faillissementsverordening (S. 1906-348), Faillissementsverordening (S. 1905-217) itu dinyatakan mulai berlaku pada tanggal I November 1906 (“Peraturan Kepailitan”). Peraturan Kepailitan itu terdiri dari 2 (dua) bab, yaitu:



1. Bab I tentang Kepailitan, Pasal 1 s/d Pasal 211; dan



2. Bab II tentang Penundaan pembayaran, Pasal 212 s/d Pasal 279.



Peraturan Kepailitan tersebut hanya berlaku bagi orang yang termasuk golongan Eropa saja. Hal ini sesuai dengan asas diskriminasi hukum yang diberlakukan oleh pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu terhadap penduduk Hindia Belanda. Pada waktu itu, sesuai dengan ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling, penduduk Hindia Belanda dibagi atas beberapa golongan sebagai berikut: (1) Golongan Eropa; (2) Golongan Bumiputra; (3) Golongan Timur Asing, yang dibagi lagi ke dalam: (a) Golongan Timur Asing Cina; dan (b) Golongan Timur Asing bukan Cina (India, Pakistan, Arab dan Iain-Iain).



Pemerintah Pendudukan Belanda di Jakarta pernah mengeluarkan suatu Peraturan Darurat Kepailitan (Noordregeling Faillissementen) pada tahun 1947 (S.1947-214) yang mulai berlaku pada tanggal 19 Desember 1947. Dalam konsideran Peraturan Darurat Kepailitan tersebut berbunyi :



“Dat Hij, het noodzakelijke achtende bijzondere voorzieningen te treffen voor de opheffing van voor de Japanse capitulatie uitgesproken faillissementen alsmede voor het uitspreken van faillissementen”.



artinya:



“Bahwa Ia, memandang perlu untuk mengatur secara khusus tentang penghapusan putusan kepailitan yang diucapkan sebelum Jepang menyerah kalah (jatuh) dan untuk memutuskan kepailitan”.



Menurut Purwosutjipto bahwa Peraturan Darurat Kepailitan (Noordregeling Faillissementen) 1947 tersebut di atas, telah tidak berfungsi lagi yang membawa akibat tidak berlaku dengan alasan-alasan:



1. Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:



“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”,



Maka pengesahan yang dimaksud dalam pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, adalah segala Badan-Badan Negara dan peraturan-peraturan yang diterbitkan/diperbuat sebelum tahun 1945, sedangkan Peraturan Darurat Kepailitan dikeluarkan pada tahun 1947, sehingga dengan demikian pengesahan yang dimaksud dalam Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 tidak meliputi/mencakup Peraturan Darurat Kepailitan 1947 yang dimaksud di atas.



2. Peraturan Darurat Kepailitan 1947 itu bersifat “Darurat” (untuk sementara) yang berarti untuk menghapuskan atau meniadakan putusan-putusan kepailitan yang terjadi sebelum Jepang jatuh atau menyerah kalah. Ketentuan ini sudah tentu tidak berlaku lagi, karena tugas sementara itu telah usai dilaksanakan.



Dengan demikian berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, Peraturan Kepailitan yang berlaku di Indonesia saat itu adalah peraturan khusus Peraturan Kepailitan (Faillissements-verordening) S.1905-217 jo S.1906-348.



Bahwa krisis moneter yang melanda Negara Asia termasuk Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan kesulitan yang besar terhadap perekonomian dan perdagangan nasional. Kemampuan dunia usaha dalam mengembangkan usahanya sangat terganggu, bahkan untuk mempertahankan kelangsungan kegiatan usahanya juga tidak mudah, hal tersebut sangat mempengaruhi kemampuan untuk memenuhi kewajiban pembayaran utangnya. Keadaan tersebut berakibat timbulnya masalah-masalah yang berantai, yang apabila tidak segera diselesaikan akan berdampak lebih luas, antara lain hilangnya lapangan kerja dan permasalahan sosial lainnya. Untuk kepentingan dunia usaha dalam menyelesaikan masalah utang-piutang secara adil, cepat, terbuka, dan efektif, sangat diperlukan perangkat hukum yang mendukungnya.



Pada tanggal 22 April 1998 berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan, yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998. Perubahan dilakukan oleh karena Undang-Undang tentang Kepailitan (Faillissements-verordening Staatblad1905-217 jo Staatblad 1906-348 yang merupakan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintahan Hindia Belanda, sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hokum masyarakat untuk penyelesaian utang piutang.



Akhirnya untuk memenuhi perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat, maka pada tanggal 18 Oktober 2004 diundangkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan berlaku sampai dengan saat ini.





Sumber:



1. Dr. Lee A Weng, S.H., Tinjauan Pasal Demi Pasal Fv (faillissements-verordening) S.1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348 jis Perpu No. 1 Tahun 1998 dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, 2001.

2. Ny. Retnowulan Sutantio, S.H., Kapita Selekta Hukum Ekonomi dan Hukum Perbankan, Seri Varia Yustisia 1, Ikahi Cabang M.A.R.I., Cetakan Kedua 1996.

3. http://www.slideshare.net/joehasan/sejarah-hukum-kepailitan-di-indonesia.

4. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia 8, Penerbit Djambatan, Jakarta 1984.

5. Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar