Rabu, 18 Agustus 2010

Hak Mendahulu Pemegang Fidusia dalam Kepailitan dan Pelaksanaanya


Jaminan fidusia hanya akan lahir sebagai turunan (assessoir) dari suatu perjanjian hutang piutang (perjanjian pokok) yang menjaminkan benda bergerak berwujud maupun tidak berwujud milik debitor, sebagai agunan bagi pelunasan utang dan memberikan kreditur kedudukan yang diutamakan terhadap kreditor lainnya. Fidusia ini merupakan penyederhanaan prinsip Pasal 1131 KUH Perdata yang menyebutkan segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitor, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitor itu. Dalam pengertian sempit, barang bergerak berwujud maupun tidak berwujud yang ada pada saat berlakunya perjanjian utang piutang, menjadi tanggungan sepenuhnya untuk pelunasan utang kepada kreditor.



Kemudian, Pasal 1132 jo Pasal 1134 KUH Perdata memberikan kemungkinan bahwa diantara para kreditor dapat diberikan suatu hak istimewa (hak didahulukan), sehingga menyebabkan kreditor mana berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya. Prinsip ini kemudian diadopsi oleh Pasal 27 Undang-Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia (“UU 42/1999”), yang menyebutkan penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap kreditur lainnya, untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia. Bahkan lebih lanjut diatur bahwa keistimewaan pemegang jaminan fidusia tidak hapus karena adanya kepailitan dan atau likuidasi pemberi fidusia.



Pengakuan terhadap hak istimewa pemegang fidusia tetap dipertahankan dengan lahirnya Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”). Pasal 55 UU 37/2004 menjamin bahwa setiap kreditor pemegang jaminan fidusia dapat mengeksekusi haknya seolah-olah tidak terjadi kepailitan. Permasalahan eksekusi ini sedikit berbeda antara rezim UU 42/1999 dengan UU 37/2004. Dalam UU 42/1999 menegaskan apabila debitor cedera janji, penerima fidusia mempunyai hak menjual benda objek fidusia. Berbeda dengan UU 37/2004, pelaksanaan eksekusi tersebut ditangguhkan untuk jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, kecuali kepailitan diakhiri lebih cepat atau pada saat dimulainya insolvensi. Pelaksanaan eksekusi setelah lewatnya penangguhan 90 (sembilan puluh) hari tersebut hanya dapat dilakukan setelah dilakukan pencocokan penagihan kepada kurator.



Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah dimulainya keadaan insolvensi dan berdasarkan Pasal 29 UU 42/1999 dapat dilakukan dengan cara:



1. Pelaksanaan titel eksekutorial;

Akta yang mempunyai irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dalam sertipikat jaminan fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) UU 42/1999, adalah suatu syarat agar suatu fiat eksekusi dapat dilakukan. Dengan irah-irah tersebut, mensejajarkan kekuatan akta fidusia dengan putusan pengadilan. Dengan demikian, akta tersebut tinggal dieksekusi, tanpa perlu lagi suatu putusan pengadilan.

2. Pelelangan umum;

Pelelangan umum ini dilakukan lewat lembaga pelelangan umum (kantor lelang).

3. Penjualan di bawah tangan.

Penjulana di bawah tangan dapat dilakukan dengan memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:



a. dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia;

b. apabila penjualan di bawah tangan tersebut dicapai harga tertinggi yang menguntungkan para pihak;

c. diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan/atau penerima fidusia kepada pihak-pihak yang berkepntingan;

d. diumumkan dalam sedikit-dikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan; dan

e. pelaksanaan penjualan dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukabn secara tertulis.



Apabila jangka waktu 2 (dua) bulan tersebut lewat, maka kurator harus menuntut kepada pemegang jaminan fidusia untuk menyerahkan benda objek fidusia untuk selanjutnya dijual (dieksekusi) oleh kurator, yang berdasarkan Pasal 185 UU 37/2004 dapat dilakukan dengan cara:



1. penjualan di muka umum.

2. penjualan dibawah tangan (dengan izin hakim pengawas).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar